Kamis, 10 Juli 2014

literatur tafsir indonesia KH Ahmad Sanusi



TAFSIR SUNDA
Raudhatu Al-‘Irfan Fii Ma’rifati Al-Qur’an
Karya K.H. Ahmad Sanusi bin H. Abdurrahim
Stain_mdo.jpg
Makalah
Disampaikan Dalam Seminar Pada Seminar Mata Kuliah Literatur Tafsir Indonesi
Jurusan Ushuluddin Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Semester VI Pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Manado Tahun Akademik 2014-2015

OLEH:
YASIR MUSTARI
11.3.1.006

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) MANADO
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai sumber utama dari segala ilmu yang tak pernah akan ada habisnya jika diselami, maka perkembangan untuk menyelami al-Qur’an melalui penafsiran tidaklah berhenti hanya pada masa Rasulullah Saw. yang kemudian mulai semakin banyak perkembangannya seperti dalam hal pengkajian kandungan al-Qur’an dengan menciptakan kitab-kitab tafsir yang  merupakan kegiatan para ulama dalam mengkaji kandungan al-Qur’an secara lebih mendalam dari berbagai sisi keilmuan yang menghasilkan suatu kitab tafsir hasil karyanya.
Perkembangan penafsiran di hasilkan oleh para ulama dari masa ke masa dan dari wilayah yang berbeda pula, baik dari corak, madzhab fiqh yang dianut, cara membaca al-Quran (Qiraah), serta situasi dan kondisi zaman. Lebih kurang 14 abad perkembangan tersebut berlangsung dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sampai dengan masa sekarang yang menambah karakteristik dari kitab tafsir tersebut.
Salah satu perkembangan yang dapat dilihat dan dirasakan dari perkembangan tafsir ini khususnya yang berada di nusantara sendiri adalah adanya kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda karya pribumi parahyangan. Kitab berbahasa Sunda ini ditulis oleh seorang Ajengan Sunda bernama K.H. Ahmad Sanusi dengan judul kitab Raudhatul Al-‘Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an. Bagaimana bentuk penafsiran yang ditempuh olehnya dan bagaiamana karakteristik kitab tafsir sunda ini, maka kami sajikan sekelumit profil tentang kitab tafsir ini.


B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Muhammad Sanusi?
2.      Apa Karyah Muhammad Sanusi?
3.      Contoh Penafsiran Muhammad Sanusi?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Biografi Mufassir
Ahmad Sanusi lahir pada tanggal 18 september 1888 bersamaan dengan tanggal 12 Muharram 1306 H di Desa Cantayan Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, afdeling Sukabumi. Beliau wafat pada tahun 1950 di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi. Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari KH. Abdul Rahim, seorang ajengan dari Cantayan. Ayah KH. Abdurrahim yang bernama H. Yasin masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Raden Annga Dipa yang dikenal dengan nama panggilan Raden Tumenggung Wiradadaha III. Sumber lain menyebutkan bahwa H. Yasin menyebutkan keturunan Syekh Abdul Muhyi penyebar agama Islam di Tasikmalaya Selatan yang berpusat di Pamijahan.[1]
Sejak kecil K.H Ahmad Sanusi sudah diberikan pendidikan oleh ayahnya. Pendidikan tersebut meliputi membaca al-Qur’an dan mengenalkannya, praktek ibadah dan keilmuan yang lainnya hingga mengembala hewan. Pendidikan keagamaan yang lebih serius baru dijalani ahmad sanusi pada saat dirinya berusia sekitar 16 ½ tahun. Sejak awal 1905 ahmad sanusi mesantren diberbagai pesantren baik yang ada di Sukabumi maupun yang ada di luar Sukabumi. Sanusi setidaknya mesantren di sembilan pesantren. Waktu yang diperlukan oleh Ahmad Sanusi untuk menimba ilmu di pesantren sekitar 4,5 tahun.
Pada tahun 1910, Ahmad Sanusi menikah dengan Siti Juariyah dan beberapa bulan kemudian Ahmad Sanusi dan istrinya pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah seluruh rukun dan syarat ditunaikan haji ahmad Sanusi tidak langsung pulang ke kampung halamannya. Ia mukim di mekah selama 5 tahun untuk memperdalam ilmu keislamannya.[2]
Pada umumnya, para ulama yang didatangi Kiyai Sanusi adalah mereka yang berasal dari madzhab Syafi’i. Beberapa gurunya diantara lain: H Muhammmad Junaedi, H. Mukhtar, H. Abdullah Jamawi dan seorang mufti dari madzhab syafi’i yang bernama Syekh Shaleh Bafadil.
Tahun-tahun pertama Kiyai Sanusi bermukim di Mekah yaitu sekitar tahun 192-191. [3]Dia bertemu dengan H. Abdul Halim dari Majalengka. Kemudian pertemuan tersebut berkembang menjadi sebuah persahabatan karena mereka sama-sama berasal dari Tatar Pasundan. Konon katanya, mereka bersepakat bahwa jika kelak mereka kembali ke tanah air mereka akan berjuang membebaskan bangsa dari jajahan Belanda melalui Pendidikan. Tetapi, H. Abdul Halim pulang terlebih dahulu ke kampung halamannya pada tahun 1911 sedangkan Kiyai Sanusi masih bermukim di Mekah untuk menyelesaikan pendidikan agamanya. Meskipun begitu, hubungan dengan Abdul Halim ia teruskan dan mereka mulai berusaha menginiplementasikan cita-cita mereka berdua untuk membebaskan bangsa Indonesia dan penjajah melalui jalur pendidikan. Dari sinilah lahir sebuah Organisasi yang bernama persatuan Umat Islam (PUI). Yang merupakah organisasi Massa hasil fusi PUI antara PUI dan PUII (persatuan umat islam Indonesia).[4]
Kemudian pada tahun 1913[5] ia bertemu dengan seorang yang bernama H Abdul Muluk. Ia diperlihatkan Satute atau anggaran dasar serikat islam (SI) dan diajak bergabung dengan Serika Islam (SI). Ajakan tersebut direspon posisitif oleh Ahmad Sanusi, ia bersedia bergabung dengan srikat islam karena organisasi tersebut berpandang memiliki tujuan yang baik, yakni tujuan akhirat dan tujuan duniawi. Hal inilah, yang mengantarkan Ahmad Sanusi untuk terlibat dalam dunia politik.[6]
Selain itu pada pertengahan tahun 1944,[7] K.H Ahmad Sanusi pun menjadi anggota BPUPKI yang bertugas untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting yang berhubungan dengan rencana pembentukan negara Indonesia merdeka.saat itu angkatan perang jepang terdesak dalam perang Asia Timur Raya, sehingga perdana menteri jepang mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka.[8]
Ahmad Sanusi adalah Ulama Sunda yang produktif menelurkan kitab-kitab asli sunda yang berisi tentang ajaran agama Islam. Martin Van bruinessen ( Kitab kuning, Mizan 1996), peneliti senior Belanda, menyebut Ahmad Sanusi sebagai penulis karya orisinil dan Bukan pensyarah (penyempurna) atas kitab-kitab tertentu, sebagaimana umumnya dilakukan oleh ulama-ulama Indonesia pada abad XIX, kitab Rawudhatul Irfan fi Ma’rifati al Quran bisa dikatakan sebagai starting point di tengah tradisi tulis baca di dunia pesantren yang belum cekatan dalam menelorkan karya tafsir yang utuh. Gunseikabu mencatat tidak kurang dari 101 karyanya, bahkan Fadil Munawar Masyur berpendapat bahwa jumlah karya K.H.  Ahmad Sanusi sekitar 480 buah.


B. Karya-Karyanya
Dalam bidang tafsir:
1. Raudhlatul Irfan fi Ma’rifat Al Qur’an
2. Maljau at Thalibin
3. Tamsyiyatul Muslimin fi tafsir Kalam Rabb al ‘Alamin, suatu kitab tafsir Al Qur’an yang diterbitkan pada oktober 1932. tafsir ini merupakan yang pertama kali terbit di Sukabumi dan merupakan sesuatu yang baru dalam masyarakat Sukabumi bahkan di daerah Pasundan, maka penerbitannya tidak luput dari kecaman dan tantangan.
4. Ushul al Islam fi Tafsir Kalam al Muluk al alam fi Tafsir Surah al Fatihah
5. Kanzur ar rahmah wa Luthf fi tafsir Surah al Kahfi
6. Tajrij qulub al Mu’minin fi Tafsir Surah Yasin
7. Kasyf as sa’adah fi tafsir Surah Waqi’ah
8. Hidayah Qulub as Shibyan fi Fadlail Surah tabarak al Mulk min al Qur’an.
9. Kasyf adz Dzunnun fi Tafsir layamassuhu ilaa al Muthahharun
10.    Tafsir Surah al falaq
11.    Tafsir Surah an Nas
Dalam bidang fiqih:
1.       Al Jauhar al Mardliyah fi Mukhtar al Furu as Syafi’iyah
  1. Nurul Yaqin fi Mahwi Madzhab al Li’ayn wa al Mutanabbi’in wa al Mubtadi’in.
  2. Tasyfif al auham fi ar Radd’an at Thaqham.
  3. Tahdzir al ‘awam fi Mufiariyat Cahaya Islam.
  4. Al Mufhamat fi daf’I al Khayalat
  5. At tanbih al mahir fi al Mukhalith
  6. Tarjamah Fiqh al Akbar as Syafi’i.
Dalam bidang ilmu kalam:
1. Kitab Haliyat al ‘Aql wa al Fikr fi bayan Muqtadiyat as Syirk wa al Fikr.
2. Thariq as Sa’adah fi al Farq al islamiyah
3. Maj’ma al fawaid fi Qawaid al ‘Aqaid
4. Tanwir ad Dzalam fi farq al Islam
5.    Miftahh al jannah fi bayan ahl as Sunnah wa al jama’ah
6.  Tauhid al Muslimin wa ‘Aqaid al Mu’minin
7. Alu’lu an Nadhid
8. Al Mufid fi Bayan ‘ilm al tauhid
9. Siraj al Wahaj fi al Isra wa al Mi’raj
10.    Al ‘Uhud wa al Hudud
11.    Bahr al Midad fi tarjamah Ayyuha al Walad
Dalam bidang tasawuf
1. Al Audiyah as syafi’iyah fi Bayan Shalat al hajah wa al Istikharah
2. Siraj al afkar
3.  Dalil as sairin
4. Jauhar al bahiyah fi Adab al mar’ah al Mutazawwiyah
5.  Mathla’ul al anwar fi Fadhilah al istighfar
6.  Al tamsyiyah al Islam fi manaqib al Aimmah
7.  Fakh al albab fi Manaqib Quthub al Aqthab
8. Siraj al Adzkiya fi Tarjamah al Azkiya.
Latar belakang penulisan Kitab Raudhatul ‘Irfan
Sebelum menulis kitab Raudhatul ‘Irfan, K.H. Ahmad Sanusi telah terlebih dahulu menulis kitab tafsir lainnya, yaitu kitab Malja’al-Thalibin fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin dan kitab Tamsyiyyat al-Muslimin. Kitab tafsir yang pertamanya, Malja’al-Thalibin, tidak menafsirkan keseluruhan ayat al-Quran. Akan tetapi beliau menulisnya hanya sampai juz sembilan saja yang terdiri dari 28 jilid yang tipis-tipis. Format penulisannya pun kurang lazim digunakan mufassir sebelumnya.
Dalam kitab Malja’al-Thalibintidak dibedakan antara ruas ayat dan ruas syarah. Kitab tafsir keduanya adalah kitab Tamsyiyyat al-Muslimin,ditulis dalam bahasa Indonesia sehingga kitab ini leih luas peredarannya hingga masyarakat non-Sunda. Hanya saja, seperti kitab pertamanya, dalam kitab Tamsyiyyat al-Muslimin, beliau tidak menafsirkan ayat al-Quran seluruhnya. Eliau hanya menafsirkan hanya sampai sepuluh juz saja.
Kitab Malja’al-Thalibindan Tamsyiyyat al-Muslimintidak menafsirkan ayat secara keseluruhan karena beberapa faktor diantaranya disebabkan Kiai Sanusi harus pindah dari tahanan rumahnya di Jakarta ke Sukabumi. Sementara itu, di Sukabumi beliau harus berhadapan dengan berbagai masalah kemasyarakatan dan kepesantrenan. Karena beberapa alasan itulah, Kiai Sanusi tidak merampungkan kitab-kitab tafsirnya selain kitab Raudhah al-Irfan.
Kitab tafsir ketiga yang beliau buat adalah kitab Raudhah al-Irfan. Kitab Raudhah al-Irfanterdiri dari dua jilid atau naskah. Jilid yang pertama merupakan penafsiran ayat al-Quran dari juz 1 sampai juz 15. Dan jilid yang kedua terdiri dari penafsiran al-Quran dimulai dari juz 16 sampai juz 30. Proses penyusunan kitab Raudhah al-Irfan pada jilid atau naskah yang pertama (juz 1-15) dilakukan Kiai Sanusi bersama 30 muridnya yang setia mengikuti pengajian dan mencatat setiap ayat al-Quran, terjemahan, dan penjelasan yang disampaikan. Hasil catatan tersebut dikumpulkan oleh seorang katib (penulis/sekretaris) yang dipercaya Kiai Sanusi, yaitu Muhammad Busyra. Setelah itu, Busyra menyalin kembali seluruh catatan para santri tersebut untuk kemudian diserahkan kepada Kiai Sanusi agar dikoreksi. Persetujuan Kiai Sanusi dapat diindikasikan dengan diizinkannya teks tersebut untuk diterbitkan. Setelah Muhammad Busyra wafat, Kiai Sanusi menunjuk katib baru, yaitu Muhammad Ibn Yahya. Hasil penyalinan Muhammad Ibn Yahya inilah yang kemudian dicetak berulang-ulang dari percetakan yang pertama sampai percetakan yang ke-10.
Sementara itu, jilid atau naskah kedua memuat penafsiran al-Quran dari juz 16 sampai juz 30 yang ditulis oleh Kiai Sanusi sendiri. Namun naskah asli yang ditulis sendiri oleh Kiai Sanusi tersebut telah rusak dan sulit terbaca. Akan tetapi, ketika naskah tersebut masih dalam keadaan baik dan terbaca, Badri Sanusi yang merupakan anak keudua Kiai Sanusi telah menyalin semua teks dari juz 16-30. Karena tulisannya dipandang kurang baik, maka penyalinan ke bentuk cetakan tangan dilakukan oleh seorang penulis yang ditunjuk langsung Badri Sanusi, yaitu Acep Mansyur. Penyalinan oleh Acep Manshur dilakukan pada cetak batu kemudian dicetak dan diterbitkan oleh Pesantren Gunung Puyuh.[9]
Tidak ditemukan alasan khusus Kiai Sanusi dalam menyusun kitab tafsir Raudhah al-Irfan. Beliau hanya saja mempunyai semangat dalam menyampaikan ilmu kepada masyarakat dan memiliki hobi membuat kitab-kitab yang berisi tentang ajaran Islam. Karena produktif membuat karya inilah Kiai Sanusi digolongkan kepada salah satu ulama sunda produktif bersama Rd. Ma’mun Nawawi dan Abdullah Ibin Nuh.[10]
Karakteristik Kitab Raudhatul ‘Irfan
Metode penafsiran Ahmad Sanusi yang global dalam kitab ini menjadi ciri tersendiri dalam model metode penafsiran yang dilakukan. Dengan menafsirkan sesuai susunan ayat-ayat di dalam mushaf lalu memberikan arti dan ditafsirkan secara ringkas dan to the point  menjadikan tafsir ini menggunakan metode ijmali (global). Oleh karena itu, agaknya akan lebih cocok dan pas, bila berpegangan pada pandangan al-Farmawi yang membai metode tafsir kepada empat macam, yaitu tahliliy, ijmaliy, muqaran, dan maudhu’iy.[11] 
Maka tafsir ini bermetodekan tafsir ijmaliy yang tidak banyak bertele-tele dalam penafsirannya. Kendati penulisan tafsir ini sesuai susunan di dalam mushaf atau disebut juga tartib mushafi  dengan terjadi penyusunannya karena perintah dari Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. secara langsung  atau secara tauqifiy, yang merupakan tanda dari tafsir tahliliy, tafsir ini tetap dikatakan memiliki metode ijmaliy dengan penulisan tafsir sesuai mushaf utsmani.
Keglobalan tafsir karya ulama tatar sunda ini dapat dilihat dari cara mengungkapkan penjelasan ayat-ayat secara singkat, jelas, dan menyeluruh. Maka, tidak berlebihan bila kitab tafsir ini dikatakan sebagai tafsir bermetodekan global atau menyeluruh. Jika dilihat dari lapisan dan strata sosial pada waktu itu dan sekarang, kitab tafsir ini sangatlah cocok bila bermetodekanijmaliy bagi para pemula yang mendalami makna kandungan al-Qur’an.
Sumber penafsiran: Adapaun mengenai sumber penafsiran dalam kitab ini tanpa diragukan lagi bercorakkan tafsir bil-Ra’yi, yakni tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang berasal dari upaya seorang mufassir dalam mencurahkan pemikirannya untuk menafsirkan. Seperti yang dikemukakan oleh al-Dzahabi, bahwa tafsir bil-ra’yi merupakan istilah bagi penafsiran al-Qur’an dengan cara ijtihad setelah mufassir tersebut mengetahui seluk-beluk bahasa arab, serta mengetahui lafal-lafal arab dan bentuk-bentuk dalil, dan mengetahui semua persyaratan yang dibutuhkan oleh seorang yang menafsirkan al-Qur’an.[12] 
Adapun M. Quraisy Syihab menyebutkannya sebagai penafsiran yang menggunakan nalar dan akal tanpa didominasi ayat al-Qur’an atau Hadis Nabi.
Corak Aliran dalam penafsiran: Secara keseluruhan kitab tafsir ini tidak menonjolkan satu pemahan khusus terkait aliran Fiqih, Aqidah, atau Tashawuf. Artinya penafsiran yang diberikan bersifat umum dan cenderung netral. Karena, penafsiran yang bermetodekan global yang membuatnya tidak terlalu tampak dalam hal jenis aliran. Kendati demikian, jika dilihat secara seksama ke dalam penafsiran ayat-ayat tertentu yang di situ terdapat perbedaan ulama, maka akan terdeteksi aliran penafsirannya.

C.  Contoh Penafsiran
1.  Tentang huruf muqotho’ah
Dalam penafsiran terhadap ayat-ayat muqhotho’ah oleh KH. Ahmad Sanusi tidaklah bemuluk-muluk dan mengambil pendapat dari para mufasir lain. Akan tetapi ia hanya menafsirkan bahwa hanyalah Allah yang tahu maksud dari ayat itu.
2.  Keterciptaan manusia (An-Nisa: 1)

 1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Bahwasannya manusia itu telah diciptakan Allah dari nafs (jasad) yang satu yaitu Adam lalu darinya diciptakan Hawa, maka dari keduanya menjadi banyak baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini, agar kalian saling kabarayaan (silaturrahmi) dan taqwa kepada Allah.
Dari uraian diatas, kita dapat mengetahui bahwa asal diciptakan manusia itu dari tulang rusuk Adam. Tetapi pada dasawarsa sekarang ini, tafsiran seperti ini banyak dicemooh khususnya para tokoh gender dan feminis. Akan tetapi pula, kita tidak dapat menyalahkan penafsiran beliau karena pada waktu itu belum muncul isu-isu tentang gender.

3. Poligami (An-Nisa: 3)
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Kita harus menyerahkan harta anak yatim, tidak boleh kurang, haram bagi kita memakan harta anak yatim, jika kalian punya anak perempuan  tiri yatim dan tidak bisa adil kepadanaya maka bisa dinikahi dua, satu, tiga dan empat tetapi seandainya tidak bisa adil maka cukup satu saja atau jariyah.
Menurut penulis bahwa penafsir ingin menjelaskan dan memberikan hak-hak anak yatim secara baik. Dalam masalah poligami Sanusi membolehkan akan berpoligami tetapi dengan batas 4 istri saja. Walaupun demikian, tetapi sebenarnya penafsir menganjurkan satu saja.
4. Iddah (Albaqarah:228)

 
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat di atas dengan kata-kata,“Nerangkeun ‘iddahna anu sok hed eta tilu sucian.” Artinya, ayat ini menjelaskan ‘iddahnya seorang yang haid ialah tiga kali bersuci. Penafsiran kata quru’ yang oleh penafsir diartikan sebagi bersuci, mengantarkan kepada pemahaman kita bahwa kitab tafsir ini beraliran fiqih Syafi’i. Karena madzhab al-Syafi’i mengartikan kata quru’ sebagai bersuci. Padahal, imam madzhab yang lainnya mengartikannya sebagai haid.
Dilihat dari susunan penulisan ayat al-Quran, terjemahan, dan tafsirannya, kitab tafsir ini terdiri dari ayat-ayat al-Quran, terjemahan matan berbahasa sunda di bawah ayatnya langsung, dan tafsirannya di sisi kiri tiap-tiap ayat yang berbahasa sunda, kesemuanya ditulis dalam bentuk arab pegon.[13] Adapun langkah-langkah mufassir dalam menulis tafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an ialah sebagai berikut seperti yang dikutip dari buku Literatur Tafsir Indonesia:
a. Menerjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa sunda
b. Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tartib Utsmani
c. Maksud dijelaskan di sisi kanan dan kiri matan teks ayat al-Qur’an dan terjemahan. Setiap ayat al-Quran diulas dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
d.   Mengemukakan asbab al-nuzul, jumlah ayat, serta huruf-hurufnya.
Simpulnya, Tafsir karya Kiyai yang berasal dari tanah sunda ini menjadi salah satu bukti keluasan ilmu ulama nusantara yang diwujudkan dalam bentuk sebuah kitab. Selain itu juga, menjadi faktor yang mempermudah masyarakat sunda khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, dalam mempelajari nilai-nilai ajaran agama islam secara langsung dari sumbernya yaitu al-Qur’an. Kitab ini pun menjadi deskripsi terhadap upaya-upaya dan ide-ide kreatif ulama nusantara dalam membumikan al-Quran. Nah, sekarang tinggal bagaimana melanjutkan usaha para ulama terdahulu dalam mengembangkan penafsiran al-Qur’an dan menjaga produk tafsir ulama terdahulu.









BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
            Secaa umum sastra dibagi menjadi dua bagian besar yaitu sastra deskriptif atau non imajinatif dan sastra kreatif atau imajinatif. Sastra kitab termasuk bagian dari sastra non imajinatif atau deskriptif, di dalamnya banyak berbicara tentang keilmuan yang bersifat keagamaan seperti fikih, tauhid, hadits, ulum al-Qur’an terutama masalah tasawuf dan sufisme.
            Adapun selain keilmuan-keilmuan di atas, diantara sastra kitab itu juga ialah tentang ilmu tafsir. Kitab Raudah al-Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an merupakan sebuah naskah kitab yang berbahasa sunda karangan ajengan Ahmad Sanusi, di dalamnya selain berbicara tafsir juga terdapat keterangan-keterangan atau sisipan-sisipan yang berbicara tentang fikih ataupun tauhid. Oleh karena itu, karya ini di kategorikan sebuah sastra kitab meihat isi yang terdapat di dalamnya membahas ilmu keagamaan terutama tafsir.












DAFTAR PUSTAKA


Amir Mafri, Literatur Tafsir Indonesia, Madzhab Ciputat, Ciputat, 2013
Al-Farmawi Abdul Hay. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy cet II, al-Hadharah al-Arabiyah, Kairo, tt
Al-Dzahabiy Muhammad Husain. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Dar al-Hadis, Kairo, 2005
Bendah, Bulan Sabit Matahari Terbit, Mizan, Bandung, 1999
Gusmian Islah, Khazanah Tafsir di Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi, Teraju Jakarta, 2003
Noer Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia LP3ES, Jakarta, 1996
Raisa Agustin, Kamus Ilmiyah Populer Surabaya: Serba Jaya, tt
Sanusi Ahmad, Tamsyiyat al-Muslimin Fi Tafsir, Kalam Rabb al-Alamin, Sukabumi, 1937
Shaleh Anwar, Sejarah Perjuangan Pemudah Persatuan Umat Islam, Pimpinan Pusat PPUI, Bandung, 1966
Yamin Muhammad, Naskah Prsiapan Undang-Undang 1945, Siguntang, Jakarta, 1971


[1]Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia. (Ciputat: Madzhab Ciputat. 2013). h. 86-87
[2] Ibid, h. 88
[3]Ahmad Sanusi, Tamsyiyat al-Muslimin Fi Tafsir kalam Rabb al-Alamin (Sukabumi: Al-Ijtihad, 1937), h. 926
[4]Islah Gusmian, Khazanah Tafsir di Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), h.  24
[5] Bendah, Bulan Sabit Matahari Terbit (Bandung: Mizan 1999), h. 321
[6]Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 95
[7] Muhammda Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang (Jakarta: Siguntang, 1971), h. 182
[8]Anwar Shaleh, Sejarah Perjuangan Pemudah persatuan Umat Islam (Bandung: Pimpinan PPUI, 1966), h. 23
[9]Ibid, h. 91
[10]Ibid 102-103
[11]Abdul Hay Al-Farmawi. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy (Kairo: al-Hadharah al-Arabiyah, cet II),  h. 23
[12]Muhammad Husain Al-Dzahabiy. Al-Tafsir wa al-Mufassirun  (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), h. 221

[13]Raisa Agustin, S.Pd. Kamus Ilmiyah Populer. (Surabaya: Serba Jaya), h. 401

4 komentar:

  1. Assalamualaikum Warahmatulloh Wabarakatuh,

    Langsung saja ustad, saya sedang mencari salah satu buku tafsir karya KH. Ahmad Sanusi yang kebetulan ustadz tulis diatas yaitu 5. Kanzur ar rahmah wa Luthf fi tafsir Surah al Kahfi.

    Saya mohon info alamat toko buku, pesantren atau perpustakaan yang disitu pasti ada buku tafsir tersebut, semoga ustadz berkenan membantu saya dan semoga Alloh membalas amal baik ustadz dengan pahala dan kebaikan, Allohumma Amin.

    Terimakasih,
    Wasalamu'alaikum..

    Hubungi Miftah:
    082118888491
    Pin:7DE1BA31

    BalasHapus
  2. assalamualaikum....
    terimakasih atas artikelnya ustad yang sangat bermanfaat bagi saya, dan saya kebetulan sangat membutuhkan karya tafsirnya KH Ahmad Sanusi yang berjudul tamsiyatul muslimin fi tafsiri kalami rabbil alamin,

    Saya mohon info alamat toko buku, pesantren atau perpustakaan yang disitu pasti ada buku tafsir tersebut, semoga ustadz berkenan membantu saya dan semoga Alloh membalas amal baik ustadz dengan pahala dan kebaikan, Allohumma Amin.

    Terimakasih,
    Wasalamu'alaikum.

    Muhlisun: Whatsap +60172839623 pin 7D756934

    BalasHapus
  3. Play The Lucky Club Casino Site Free and VIP Spins
    Play the most exclusive Slots and Live Dealer games at Lucky Club Casino. Play exciting luckyclub Online Slots, Table Games, Bingo & Live Casino Games.

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum admin, apakah ada menjual Kitab tafsir raudhatul irfan fi ma'rifati alquran?

    BalasHapus